Dua negara besar di emerging market, Indonesia dan India, kini mengalami permasalahan ekonomi yang sama. Namun, sejumlah analis menilai, Indonesia mengalami posisi yang lebih buruk ketimbang India.
Menurut analis, kedua negara sama-sama memiliki defisit neraca perdagangan yang membengkak. Namun, situasi eksternal Indonesia lebih buruk karena neraca perdagangannya berubah dengan cepat dari surplus menjadi defisit yang menembus rekor baru pada Juli.
Asal tahu saja, defisit neraca perdagangan Indonesia pada kuartal kedua membengkak menjadi 4,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau 9,8 miliar dollar AS. Sebagai perbandingan, pada kuartal sebelumnya, defisit neraca perdagangan Indonesia adalah 2,6 persen dari PDB. Padahal, pada 2011 neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus senilai 1,7 miliar dollar AS.
Sebaliknya, saat ini defisit neraca perdagangan India diprediksi semakin sempit dalam beberapa bulan ke depan. Kondisi itu dipicu oleh adanya penurunan impor non-minyak dan kenaikan ekspor. Di sisi lain, arus remitansi dari luar negeri juga turut membantu perekonomian Negeri Taj Mahal ini.
Barclays memprediksi, defisit neraca perdagangan India akan mengerucut menjadi 3,7 persen dari PDB atau 68,2 miliar dollar AS pada tahun ini, dari 4,8 persen pada tahun lalu.
"Di Indonesia, pada basis 12 bulanan, defisit neraca perdagangan diprediksi akan meningkat. Berbeda dengan India, meskipun defisit, namun nilainya diprediksi akan menurun," jelas Krishna Hedge, Head of Asia Credit Research Barclays.
Hedge menyoroti tingginya kepemilikan asing pada obligasi domestik Indonesia yang menyebabkan neraca perdagangan semakin rentan jika terjadi penarikan dana oleh asing.
"Kedua neraca perdagangan didanai oleh arus dana asing. Sementara dana asing yang keluar dari pasar saham juga berisiko terhadap ekonomi dua negara. Pada kasus Indonesia, investasi asing pada kepemilikan obligasi sangat penting," tambahnya.
Sekitar 30 persen dari surat utang Pemerintah Indonesia dimiliki oleh asing. Bandingkan dengan India yang hanya 3 persen, terendah di Asia.
Selain itu, tidak seperti India yang tingkat ekspornya diuntungkan oleh pelemahan rupee, Hedge bilang, ekspor Indonesia yang memiliki porsi signifikan adalah komoditas berdenominasi dollar. Tentunya, hal ini tidak akan menguntungkan jika rupiah melemah.
Jika bicara mengenai mata uang, sentimen pemangkasan nilai stimulus oleh The Federal Reserve memukul mata uang kedua negara. Rupee India keok hingga 17 persen pada kuartal kedua lalu. Sementara pada periode yang sama, rupiah melemah 13 persen.
"Di India, depresiasi rupee dapat mengerek volume impor seperti yang terlihat di sektor tekstil dan otomotif. Kami memprediksi, dampak dari depresiasi rupee dalam beberapa bulan ke depan adalah kian berkurangnya defisit neraca perdagangan," catat Hedge.
Dari perspektif pertumbuhan, Robert Priou, Wandesforde, Director for Asia Economics Credit Suisse, meramal perekonomian India akan mulai pulih pada tahun ini. Sedangkan pelambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin memburuk.
"Pelambatan pertumbuhan India sudah melambat selama tiga tahun. Hal itu menyebabkan saya lebih optimistis bahwa India dapat pulih lebih cepat," jelas Prior. (Barratut Taqiyyah)
http://bisniskeuangan.kompas.com